Rendy berulang kali melirik jam dinding di kelasnya. Bel istirahat masih sepuluh menit lagi. “Hhh…!” Rendy menghela napas. Sangat berat rasanya. Bagi siswa sekolahan, tak terkecuali Rendy, sepuluh menit sama dengan satu jam. Apalagi ditemani oleh guru yang paling membosankan, atau guru killer!
Rendy akhirnya memutuskan untuk mencuri pandang pada Donna. Memandangi Donna sungguh membawa angin kesejukan yang menyapu hatinya di saat seperti ini. Tetapi ternyata bukan hanya Rendy satu-satunya orang yang merasakan angin kesejukan itu. Ketika dia berusaha mencuri-curi pandang pada Donna, pria-pria lain dikelasnya sudah lebih dulu memandanginya. Bahkan secara terang-terangan
Bagaimana tidak, Donna sangat cantik. Kulitnya putih bersih dan mulus. Badannya ramping. Ia juga sangat ramah dan sederhana. Pria manapun pasti tergila-gila padanya. Donna sudah menjadi primadona kelas, bahkan primadona sekolah sejak mereka semua hadir di acara penerimaan siswa baru.
“Yak. Cinta, coba ulangi perkataan Ibu barusan.” Suara Bu Yolanda memecah konsentrasi. Seketika semua orang memperhatikan Cinta yang sedang gelagapan, melepas tangannya dari rambut Donna. Cinta yang duduk disamping Donna mempunyai kebiasaan mengepang rambut Donna jika ia merasa bosan, seperti yang baru saja dilakukannya.
Ditengah-tengah kepanikannya mendapat pertanyaan dari Bu Yolanda, saat itulah bel berdering. Seluruh siswa di kelas itu menghembuskan nafas lega. Terlebih Cinta. Bel istirahat tadi bagaikan jalan pintas untuk keluar dari terkaman harimau.
***
Rendy sangat menyukai Donna, namun ia belum pernah mengutarakan perasaannya. Selain merasa tidak pantas bersanding dengan seorang primadona, Rendy tidak mempunyai kesempatan mengajaknya bicara. Tindakannya selalu selangkah lebih lambat dari yang lain. Saat memandangi wajah mulus Donna, pria lain sudah lebih dulu memandanginya. Saat hendak mengajaknya bicara, lihat saja, gadis cantik itu tiba-tiba sudah ada teman bicaranya. Rendy bermaksud mendekati Cinta untuk mencari informasi. Apakah Donna sudah mempunyai pacar? Seperti apakah tipe lelaki idamannya? Apa saja kesukaannya? Apakah ia senang dibacakan puisi sambil diiringi gitar?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah tersampaikan, hanya menari-nari di dalam pikirannya. Rendy tahu, tentunya Cinta pun sudah dikerubuti oleh para pria yang juga mempunyai niat yang sama seperti dirinya.
Rendy memandangi Donna yang hanya berjarak lima meter didepannya. Meski begitu dekat, namun Donna dan pria yang menjadi lawan bicaranya sama sekali tak menyadari kehadiran Rendy. Rasanya ingin sekali ia meninju pria sok ganteng yang mencoba memonopoli perhatian Donna. Pandangan Rendy teralihkan ketika Donna menyibakkan rambutnya. Seketika Rendy terpana. Rambut itu begitu indah. Hitam legam dan berkilau. Ia jadi teringat iklan shampoo yang sering dilihatnya di televisi. Sedetik ini saja Rendy ingin menjadi Cinta, demi menyentuh rambutnya.
“Kamu nggak ke kantin?” Rendy tersentak. Suara dari belakang mengejutkan Rendy. Ia pun berbalik. Ternyata Cinta. Semoga panjang umur.
“Kok bengong begitu? Ke kantin, yuk!”
Rendy tak bergeming. Tapi tak beberapa lama kemudian ia tersenyum. Senyum yang hanya satu sudut bibirnya yang terangkat. Senyuman licik.
***
Sudah seminggu lamanya Rendy dan Cinta sering mengabiskan waktu bersama. Terutama di kantin, tempat favorit anak-anak sekolahan menghabiskan waktu istirahat sebelum mata pelajaran yang baru dimulai. Mereka pun menjadi akrab. Menurut Rendy, Cinta adalah seorang teman yang menyenangkan. Rendy menyayangkan bahwa Cinta tidak cantik. Andaikata Cinta secantik Donna, tak perlulah Cinta mendekati Donna untuk turut kecipratan popularitasnya.
Rendy akhirnya memutuskan, sudah saatnya ia memancing pembicaraan tentang Donna.
“Eh, loe tau nggak Ren kenapa kita jadi deket begini?”
Rendy kalah start. Ia pun menyimpan pertanyaannya untuk nanti.
“Nggak tau. Harusnya gue yang tanya. Bukannya elo yang deketin gue duluan? Wah, jangan-jangan loe naksir gue?” canda Rendy, spontan.
Untuk beberapa detik lamanya Cinta terdiam sebelum dengan tergesa-gesa membalas candaannya. “Ih, amit-amit. Gue datang ke elo saat itu karena iseng aja. Ternyata loe senang juga tuh gue ajak ke kantin. Loe yang jangan-jangan naksir gue, ya?”
“Hahaha dasar cewek bisanya cari alasan. Serius dong!”
Cinta menghabiskan es jeruk pesanannya. Sruut..
“Oke, serius. Gue lihat elo berbeda dari cowok yang lain. Elo satu-satunya cowok yang nggak kegatelan sama si Donna. Elo juga nggak berusaha deketin gue buat sekilas info tentang dia. Makanya gue nyamperin elo saat itu sebenenarnya untuk lebih kenal deket sama loe. Dan jujur, gue nyaman berteman sama loe, Ren.”
Kali ini Rendy yang untuk beberapa saat terdiam. Speechless. Pertanyaan tentang Donna yang dia simpan tadi tiba-tiba menguap. Rendy hanya tersenyum. Pahit.
***
Persahabatan antara Cinta dan Rendy pun berlanjut. Mereka menjadi semakin dekat dan mulai mencurahkan isi hati tentang semua: keluarga, teman, pendidikan, ekonomi, ketakutan, kebahagiaan, dan lain-lain kecuali satu: Cinta. Cinta tak pernah menceritakan kisah cintanya sama sekali, apalagi Rendy. Ia tak ingin Cinta menganggap Rendy sama seperti pria yang lain. Karena itu ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tak akan menyebut nama Donna didepan Cinta. Kalau saja bukan Donna yang ia cintai, pasti tak akan serumit ini jadinya. Kisah cintanya kandas sudah. Bahkan ketika cinta itu belum dimulai. Maksud hati hendak memeluk gunung, apa daya tangan buntung!
Namun semakin hari nama Donna justru semakin sering keluar dari mulut Cinta. Dari situlah Rendy baru menyadari bahwa Cinta tidak serendah yang dia kira. Meski mengaku tidak terlalu dekat dengan Donna, pertemanan antara Donna dan Cinta tulus adanya, bukan semata-mata karena popularitas, seperti yang Rendy perkirakan. Rendy akhirnya merasa malu sendiri. Justru selama ini dia lah yang sepatutnya direndahkan. Sejatinya Rendy sama seperti pria yang lain, yaitu mempunyai niat mendekati Cinta untuk mendapatkan informasi tentang Donna.
“Donna besok ultah. ‘Tuh cowok-cowok centil makin getol mengorek informasi dari gue.”
Rendy tersedak. Bakso daging yang ia telan tiba-tiba tersangkut di tenggorokannya. Rendy batuk-batuk. “Uhuk, uhuk, uhukk…!”
“Lo nggak apa-apa?” ujar Cinta, cemas.
Rendi mengangkat tangannya untuk meminta waktu. Ia segera meraih es teh yang tinggal setengah gelas di hadapannya. Dengan tergesa-gesa Rendy meneguknya sampai habis. Di satu sisi tenggorokannya terasa perih, di sisi lain ia tak kuasa menahan rasa penasarannya.
“Sorry, sorry. Eh, tadi tentang Donna gimana kelanjutannya?”
Cinta mengernyitkan dahinya. Untuk sesaat ia merasa ragu untuk bicara.
“Mmm, itu..si Donna ultah besok…”
Menyadari reaksi Cinta yang terkesan curiga, Rendy ‘membetulkan’ ekspresinya.
“Oh..kirain apaan.” jawab Rendy sekenanya.
“Memangnya cowok-cowok itu minta informasi apa?” tanya Rendy sambil menyantap bakso di mangkuknya, berusaha bersikap sedatar mungkin.
“Yah, macem-macem. Rata-rata sih tanya kesukaannya Donna apa. Biar nggak pada salah ngasih hadiah.”
“Trus loe jawab apa?”
“Nggak jawab apa-apa. Ngapain juga kasih tau ke mereka.” jawabnya malas.
Rendy mengunyah bakso terakhirnya. “Emang kesukaan dia apaan?”
“Mana gue tau. Tapi klise sih. Cewek tuh suka sama cowok yang lucu. Humoris, gitu. Pinter-pinter aja melawak. Kalau bisa bikin dia ketawa, berarti loe udah ngambil hatinya. Masalah hadiah ultah mah apa aja juga jadi. Yang penting tuh orangnya.”
“Oh. Iya, bener juga tuh..” respon Rendy pura-pura datar.
Bel berdering tanda aktivitas belajar segera dimulai. Rendy membayar makanannya.
“Yuk, ke kelas?” ajak Rendy.
Cinta mengangguk lalu bangkit dari kursinya.
Siapa yang tahu, di dalam hatinya Rendy tersenyum. Senyum yang salah satu sudut bibirnya tersungging ke atas. Senyum yang seperti waktu itu. Senyuman licik.
***
Matahari pagi memasuki ruang kelas. Udara sejuk yang mengelilingi tubuh Cinta perlahan-lahan berubah hangat. Cinta memang biasa datang ke sekolah paling awal. Ia menikmati udara bersih pagi hari, nyanyian burung bersahut-sahutan, embun yang menguap dan cahaya mentari yang keemasan. Semua itu hanya bisa dinikmati saat berjalan kaki menuju sekolah. Sesampainya di sekolah, ia kemudian membaca buku di tempat duduknya sambil menunggu teman-temannya datang. Kebiasaan ini sudah diketahui seisi kelasnya.
“Pagi! Seperti biasa, loe selalu lebih awal ya.” Sapa Donna dari pintu kelas. Cinta tersenyum, lalu ia berdiri menghampiri Donna dan tiba-tiba memeluk erat sahabatnya.
“Happy birthday!” seru Cinta.
Donna tertawa, tidak jadi kaget. Donna balik memeluk Cinta. “Thank you, dear.”
Cinta melepas pelukannya. “Ada cerita apa nih, semalam? Berapa banyak cowok yang nelfon untuk bilang selamat ultah?” goda Cinta.
Donna seperti mengingat sesuatu. Lalu tiba-tiba ia tertawa.
“Ada apa? Kayaknya loe lagi senang. Cerita dong?” desak Cinta.
Donna malah balik bertanya “Cin, loe kan lumayan dekat sama Rendy, menurut loe dia seperti apa sih orangnya?”
Cinta terkejut Donna menyebut nama Rendy.
“Kenapa loe tiba-tiba tanya tentang dia?” Cinta penasaran.
“Nggak…gue kaget aja. Rendy kan orangnya cool. Selama ini cuma dia cowok yang nggak pernah deketin gue. Tapi ternyata doi orangnya kocak juga ya?” Donna tertawa, seperti mengingat kejadian lucu.
Cinta tak mengerti. Apa hubungannya dengan semua ini? Tiba-tiba ia menyadari sesuatu.
“Hah! Rendy nelfon elo?” kata Cinta, tak percaya.
“Iya, Cin. Pake main tebak-tebakan segala..” Donna tertawa geli.
Cinta hanya diam. Tak bisa menemukan dimana lucunya. Donna tak menceritakan detail ceritanya, dan Cinta pun tidak ingin mendengarnya.
“Orangnya benar-benar menarik.” lanjut Donna.
Mendadak hatinya terasa gerah. Spontan, Cinta flash back ke waktu dua hari yang lalu. Ia teringat kalimat terakhir yang dia ucapkan pada Rendy. Cewek tuh suka sama cowok yang lucu. Humoris, gitu. Pinter-pinter aja melawak. Kalo bisa bikin dia ketawa, berarti loe udah ngambil hatinya.
“Jadi…selama ini Rendy manfaatin gue??” ucapnya dalam hati. Hatinya tergores. Cinta benar-benar kecewa. Rendy telah mengkhianatinya.
Anak-anak sudah mulai berdatangan. Sebentar lagi bel berdering tanda mulai pelajaran. Tiba-tiba seseorang menyapa mereka berdua.
“Morning, ladies!” dari suaranya Cinta sudah tau itu Rendy. Mendadak Cinta merasa muak mendengar suaranya. Ia tak ingin membalas sapa dan menatap wajahnya.
***
“Munafik! Elo nggak ada bedanya sama cowok lain!”
Rendy kaget bukan main mendapati Cinta berada di hadapannya. Di tengah hujan, tepat di depan warung seberang sekolah dimana Rendy sedang berteduh.
“Cinta? Loe belum pulang? Ini kan udah lewat jam pulang sekolah..?” Rendy melirik jam tangannya.
“Bodo’! Ngapain loe mikirin gue? Dasar munafik! Tega-teganya loe manfaatin gue. Padahal gue percaya sama elo. Gue pikir loe nganggap gue…teman. Emang loe munafik! Di belakang gue loe sama Donna…”
Merasa dipojokkan, Rendy langsung membela diri “Tunggu…tunggu...tunggu. Oh, tentang itu. Enak aja loe ngatain gue. Gue nggak pernah tuh tanya info tentang Donna. Elo aja yang selalu cerita sendiri tanpa diminta!”
“Ya mana gue tau loe ternyata suka sama Donna. Loe justru manfaatin gue dengan cara nggak ngasih tau tentang perasaan elo!” Cinta tidak mau kalah.
“Elo sendiri? Emang loe cerita sama gue elo suka sama siapa?”
Sing~. Senyap.
Rendy bermaksud memanfaatkan kesempatan diam ini untuk balik memojokkan Cinta tetapi ia urungkan saat melihat wajah Cinta berubah.
Cinta menangis! Air matanya terlihat walau bercampur dengan air hujan.
Air mata Cinta yang jatuh dari kelopak matanya sudah cukup membuat Rendy tak perlu berpikir keras menemukan alasannya.
“Hah….Cinta..? masa loe suka sama gue?” kata Rendy tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Uh… begoo!!!” Usai mencaci, Cinta pun lari.
Rendy masih mematung di tempatnya. “Jadi Cinta suka sama gue…selama ini??” Rendy terpaku. Dia merasa bodoh. Benar-benar bodoh.
“Ngapain masih disini, bang? Dikejar dong!” Deni, anak penjaga warung tiba-tiba bersuara.
Rendy terlihat ragu-ragu. Ia masih bingung. Tak tahu pasti harus berbuat apa. Wajah Cinta yang sedang menangis terbayang-bayang di benaknya.
“Kenapa bang, takut air?” tanya Deni, mengejek.
Rendy menatap anak penjaga warung itu. Sinis. Sebelum akhirnya dia berlari dibawah hujan.
“Cinta….!!” Rendy mengejar dan memanggil namanya. Tak ada jawaban. Wujudnya pun tidak terlihat. “Cinta…!” Pandangan Rendy menyapu sekeliling. Tak ada siapapun. Rendy berhenti mengejarnya. Cinta telah menghilang ditelan hujan.
Dirumah, Rendy termenung sendirian. Ia tidak menyangka Cinta menyukainya. Rendy merasa bodoh dan merasa bersalah. “Tapi kenapa gue harus merasa bersalah? Salah sendiri kenapa dia nggak jujur sama gue?” teriak Rendy pada dirinya sendiri. Namun wajah Cinta ketika menangis selalu terbayang-bayang di benaknya.
Inilah kali pertama Rendy memikirkan seorang gadis selain Donna.
***
Sudah tiga hari lamanya setelah kejadian itu, Rendy susah tidur. Di sekolah, Rendy selalu duduk di kantin hanya ditemani seorang diri. Meja kantin yang biasa mereka tempati kala istirahat makan siang, penuh dengan aura Cinta. Rendy masih percaya ia sedang melihat wajah Cinta yang tertawa di hadapannya, berbagi cerita tentang kekonyolan hidup sambil meminum es jeruk kesukaannya. Namun itu semua hanya bayangan semata. Cinta telah mengacuhkannya. Dan ia merasa…. BUKK!! Rendy menggebrak meja. “Sialan! Gue kangen.”
Sementara di kelas, Donna dan Cinta sedang menyantap makanan bekal yang dibawa dari rumah masing-masing. “Loe lagi kenapa sama Rendy?” Donna angkat bicara. Cinta mendadak berhenti mengunyah, hampir tersedak.
“Maksud loe?” tanya Cinta.
“Udah nggak usah pura-pura. Selama ini loe nggak pernah bawa bekal ke sekolah. Biasanya kan loe di kantin sama Rendy?” tebak Donna.
“Ng..nggak apa-apa, kok. Lagi pingin aja bawa bekal. Boleh kan?” jawab Cinta, menutup-nutupi. “Ya bolehlah!” ujar Donna, berusaha santai. Mereka pun melanjutkan makan siangnya.
Bel berdering tanda pulang sekolah. Langit mendung, pertanda akan segera hujan. Hujan mulai rintik. Rendy menunggu di warung tempat terakhir kali ia berpisah dengan Cinta. Kali ini ia merasa harus berbuat sesuatu. Dari jauh, Rendy melihat Cinta dan Donna keluar dari pagar sekolah. Melihat Donna, Rendy sedikit terkejut. Ia merasa semakin lama Donna semakin bersahaja. Donna tidak secantik dulu. Mungkinkah ia sakit? Namun entah kenapa Rendy tidak perduli. Ia hanya ingin bicara pada Cinta.
Seseorang memperhatikan gerak-gerik Rendy. Lalu tiba-tiba menyeletuk “Kok diam aja, bang? Keburu pulang tuh orangnya!”
Rendy menoleh lalu menghela napas, merasa terganggu. Lagi-lagi Deni.
“Masa’ takut gerimis juga? Atau… nunggu hujan deras ya bang, biar lebih romantis kayak waktu itu?” Deni terkekeh-kekeh.
Meski kesal, ia akui ejekan Deni telah membakar semangatnya. Rendi pun segera mengampiri Cinta.
“Hey, tunggu…!”
Cinta dan Donna menoleh. Mereka berdua saling menatap satu sama lain. Rendy telah sampai di depan mereka berdua. “Ada waktu? Gue mau ngomong sama elo.” kata Rendy.
Cinta melirik kearah Donna. “Gue pulang duluan, Don. Have fun. Daag.” Cinta meninggalkan mereka berdua. Rendy terkejut.
Dengan tersenyum malu-malu, Donna bertanya pada Rendy “Mau ngomong apa sama gue, Ren?” Rendy terbata-bata. Ini pertama kalinya ia berbicara langsung dihadapan Donna. Tetapi tak disangka, ia akan menjawab seperti ini “So...sorry, Don. Gue mau ngomong sama Cinta bukan sama elo.” Rendy pun meninggalkan Donna yang terbengong-bengong.
***
Cinta berjalan pulang. Ia berjalan dengan langkah cepat, mengimbangi gemuruh di dalam hatinya. Cinta benar-benar kesal. Ia menghentak-hentakkan kakinya di tanah. Pertama kalinya ia merasa benci sekali pada seseorang. Benci pada Rendy.
Cinta mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Langkah kaki yang tergesa-gesa. Agaknya seseorang sedang berusaha mengejarnya. Cinta menoleh. Langkahnya terhenti karena terkejut. Mau apa Rendy mengikutinya? Ia belum siap menghadapi Rendy. Namun tak mungkin juga Cinta berlari untuk menghindarinya. Harga dirinya takkan mengizinkan.
Rendy semakin mendekat. Jujur, Cinta masih muak melihat wajahnya. Ia pun terus berjalan, namun perlahan. Sambil membelakangi Rendy, Cinta angkat bicara. “Ngapain loe ngikutin gue?” tanyanya, ketus.
“Gue…mau ngomong sama elo, Cin..” kata Rendy, masih sambil berjalan di belakang Cinta.
Berjalan di depannya, Cinta tetap tak mau menoleh ke belakang. “Oh. Loe mau bilang terima kasih sama gue atas informasi tentang Donna yang gue kasih cuma-cuma selama ini??” hardik Cinta.
“Nggak. Gue mau minta maaf..” kata Rendy, terus terang.
“Atas apa? Memanfaatkan gue?” Cinta masih terdengar ketus.
“Bukan. Atas menyakiti perasaan elo..” ujar Rendy, perlahan.
Cinta terdiam lalu berkata “Gue nggak mau ngomongin itu lagi.” Suaranya mengecil. Hatinya tergores lagi.
“Cin, gue memang bodoh. Gue nggak menyadari perasaan loe ke gue. Tapi…”
Belum selesai Rendy bicara, kalimatnya dipotong oleh Cinta. “Please. Gue nggak mau ngomongin itu lagi.” kali ini nadanya tegas.
“Aku kangen, Cin.”
Cinta menghentikan langkahnya. Ia tetap tidak menoleh pada Rendy yang berada di belakangnya. Apakah Cinta tidak salah dengar, Rendy bilang ‘aku’ dan ‘kangen’ padanya??
“Aku rasa aku…jatuh cinta.” Rendy tak percaya sudah mengatakannya.
Tubuh Cinta bergetar. “Kamu…jangan bercanda.” suaranya pun bergetar. Dan tanpa disadari ikut terbawa menggunakan kata ‘aku’ dan ‘kamu’.
“Sumpah, aku nggak. Wajah kamu terbayang terus di kepalaku.” Rendy ingat tawanya, matanya…mata yang kala itu menangis untuknya. “Kamu cantik, Cin…”
Cinta terperangah. Terkejut sekaligus tak percaya apa yang baru saja Rendy katakan. Ia tak dapat berkata-kata. Namun sebentar kemudian ia mencoba membuat benteng dalam hatinya. Menyiapkan diri jika ternyata Rendy sedang mempermainkannya.
“…Apalagi ketika menangis..” Rendy menambahkan.
Benteng yang dibangun di dalam hatinya seketika roboh. Donna terkena sengatan kejut sesi II. Tiba-tiba Donna tertawa “Ha..ha..ha…” tawa yang sumbang, benar-benar dipaksakan.
“Tolong, lihat mataku.” Pinta Rendy. Ia meletakkan sebelah tangannya di atas pundak Cinta, dan membalikkan tubuhnya sehingga berhadap-hadapan. Rendy menahan nafas ketika mendapati Cinta sedang berlinang air mata.
“Tuh, kan…cantik banget.” Rendy tersenyum.
Merasa telah digoda, Cinta memukul lengan Rendy. Rendy segera meraihnya. Mereka berdua berpandang-pandangan. Dari sana Cinta mengetahui, mata Rendy tidak berdusta.
Dreeessss… tiba-tiba hujan deras. Rendy menggandeng Cinta menuju sebuah pohon yang besar. Mereka berteduh di bawah pohon. Meski di warung lebih nyaman, Rendy tak ingin membawa Cinta kesana. Ia tak mau lagi menjadi korban ejekan Deni, apalagi di depan Cinta.
Mereka berteduh dalam diam. Berdiri berdampingan, Rendy memberanikan diri merangkul gadis disampingnya. Cinta yang tak sadar rasa bencinya terhadap Rendy telah sirna, pun meletakkan kepalanya di pundak Rendy. Mereka menikmati nyanyian hujan. Tak ada lagi sepatah kata yang terucap ketika menyatu dengan alam.
Hujan mereda. Nyanyian hujan kini sampai di penghujung lagu. Berganti nyanyian burung yang sayup-sayup terdengar. Tetesan hujan menyangkut pada daun, sebelum akhirnya memeluk tanah. Langit kelabu permisi malu-malu ketika sinar matahari kembali bertahta.
Di mata Rendy, kini segala yang terlihat menebarkan bait puisi. Dan tentu saja, terlihat begitu cantik.
dengan gaya bahasa yang sederhana dan lugu tp tetap menyejukkan membuat saya terbawa dlm alur cerita "cinta" tsb, terus terang saya sangat sangat suka tulisan ini membuat saya jadi tambah mencintai istri saya, yg saya cintai dari sma sampai sekarang. Good luck naz...
ReplyDelete